Rabu, 28 Januari 2015

selamat ulang tahun mah..

Sudah terlalu lama gue gak nulis di blog ini lagi, jangankan nulis, mengunjunginyapun tidak, bukan karena sibuk, tapi lebih karena modem gue gak aktif dari jaman presiden BJ Habibie masih menjabat.

Ada beberapa temen gue yang minta buat gue nulis lagi, ya hanya beberapa.. karena gue tetap menjaga sebagian besar dari temen gue untuk gak baca blog gue. Biar mereka gak tau kalo gue pernah smoothing.

Ya.. smoothing..

Hari ini 28 Januari 2015 nyokap gue ulang tahun ke 44. Yang artinya waktu 28 januari 2002 dia ultah yang ke 31.

Di hari ultah ini mungkin akan sangat tepat kalo gue nulis tentang nyokap gue.
Baiklah kita mulai..

***


Nama beliau adalah Murtawati, tanpa embel-embel nama besar ataupun gelar, namun tak menjadikan ia kecil ataupun remeh, ia adalah wanita terkuat di keluarga kami, kami menobatkannya menjadi pahlawan karena ia satu-satunya orang yang kami kenal tidak pernah ada keluhan sedikitpun keluar dari bibirnya, betapapun beban dipikul yang akan membuat orang lain akan menjerit atau bahkan menyerah.

Dia ibu kami, wanita yang belum pernah mengenyam bangku kuliah namun mampu men-sarjanakan kami, terutama saya, kelak adik saya. Saya jadi teringat waktu saya masih di taman kanak-kanak, waktu itu musim hujan. Di waktu pagi seorang anak dengan sangat malasnya bangun ke kamar mandi karena cuaca sangat bersahabat dengan kasur dan guling. Seorang ibu yang setengah marah mulai meneriaki anak itu untuk mandi dan bersiap pergi ke sekolah. Akhirnya anak itu diantar oleh sang ibu pergi ke sekolah di cuaca hujan tidak begitu lebat, tentunya menggunakan payung. Perjalanan ke sekolah tidak begitu menarik untuk diceritakan sampai ibu dan anak itu sampai di turunan sekolah, jalanan banjir.

Sang anak dalam hati gembira karena ia yakin sekolah tidak akan buka. Namun lain hal dengan sang ibu, sang ibu sangat bersikeras untuk menyekolahkan anaknya, menurutnya ketinggian air hanya beberapa senti tidak akan berpengaruh, aspalpun masih jelas terlihat dari permukaan air. “disana gak banjir, ayok ah nanti telat” kata sang ibu. Sang anak mulai terpaksa berjalan dengan beban di leher seberat kepalan menahan dongkol.

Tak disangka makin berjalan banjir makin tinggi, entah air yang meninggi ataupun daratan yang melandai, sang anak mulai gusar dan sang ibu berinisiatif untuk menggemblok sang anak, perjalanan dilanjutkan. Beberapa puluh meter ditempuh sang ibu menerobos air dengan menggemblok sang anak .
Sang anak kembali gusar karena ketinggian air mulai sampai betis ibunya, namun sang ibu tetap berjalan menuju sekolah anaknya, airpun terus meninggi.

Sang ibu dan anak akhirnya sampai di gerbang sekolah dengan ketinggian air sudah mencapai setengah paha.  Bersamaan dengan sampainya kepala sekolah sang anak keluar dari pintu dan member itahu sang ibu “libur bu, banjir” dan sang ibu menjawab “sampe masuk ke dalem bu? Yaudah deh”.

Akhirnya sang ibu dan anak itu kembali pulang, dengan si anak tetap ada di gemblokan ibunya untuk setengah perjalanan pulang menerobos banjir.

Anak dan ibu adalah saya dan ibu saya. Waktu itu saya hanya merasa senang karena hari itu libur sekolah. Sejak saat itu saya tidak pernah melupakan kejadian itu, sampai saat ini. Saya hanya membayangkan perjuangan ibu saya untuk anaknya bersekolah, padahal apa salahnya kita menyimpulkan terlebih dahulu bahwa sekolah libur, tanpa harus meyakinkan untuk datang, toh itu hanya taman kanak-kanak.

Karena ibu saya sangat menghargai pendidikan.

Ya itu jawaban yang tepat.

Beliau tau bahwa pendidikan merupakan modal penting untuk bekal kehidupan kelak. maka ketika saya mulai malas belajar, saya mulai teringat dengan kejadian itu, dan kembali menguatkan diri untuk membuktikan bahwa kakinya yang terendam air berpenyakit tidak akan sia-sia.
Pertanyaannya hanya satu. Akankah saya menghargai pendidikan sampai seperti itu? atau akankah kamu menghargai pendidikan sampai seperti itu?

Ibu kami seorang yang terlalu kuat bahkan jika dibandingkan dengan manusia terkuat yang dapat merobek yellow pages. Seperti dikatakan di awal beliau tidak pernah mengeluh. Tentu saja tidak dalam bahasa yang sebenarnya, beliau sering mengeluh ketika kami tidak mencuci piring, tidak membereskan tempat tidur atau menggunakan minyak goreng terlalu banyak hanya untuk menggoreng nugget. Tapi saya kembali teringat dengan kejadian beberapa tahun lampau ketika sang anak telah duduk di sekolah menengah pertama.

Waktu itu keadaan keluarga kami memang belum mapan, jauh sebelum Adijaya didirikan. Kami mengontrak di sebuah petakan 3 himpit, dengan tetangga di kanan dan kiri. Ayah saya baru saja keluar dari pekerjaannya, ibu saya tidak ada sumber pemasukan sama sekali hanya bergantung dari sang Ayah.

Kondisi yang menurut saya adalah titik nol di kehidupan keluarga kami, titik dimana dimulainya nama saya dan adik saya dijadikan nama besar sebuah perusahaan yang dapat kami banggakan sekarang.

Ayah saya waktu itu berkata pada saya. Kami berbicara layaknya antar laki-laki bukan antara Ayah dan Anak. “mama kamu itu, kalo bisa udah teriak pasti udah teriak, kalo dia gak kuat pasti dia udah pulang ke Lampung. Itulah luar biasanya mama kamu”. Kenyataannya memang kami tidak pernah mendengar dia mengeluh, yang hanya kami dengar hanya teriakan menyuruh kami ngaji atau mengecilkan suara TV.

Sekuat apa sih memangnya?

Waktu itu keadaan kami seperti terseret. Ayah kami berusaha menutupi kebutuhan sehari-hari yang juga tidak tertutupi dengan ikut adik sepupunya narik bus, ayah saya kondektur bus. Ibu saya dirumah mengurusi anaknya yang tukang minta jajan dan yang belum bisa cebok. Setiap saya ke warung bapak atau ibu warung hanya menawarkan barang yang tidak laku mereka jual “dek, itu mama mau beli telor yang pecah gak?”, kalimat yang lumayan selalu terngiang jika mengingat betapa mirisnya.

Hampir setiap hari kami makan telur dadar, dan bahkan di tambah air agar terlihat banyak. Sampai pada suatu titik, telur kami habis dan belum ada uang untuk membelinya lagi. Di dapur Ibu memasak nasi goreng, tanpa telur, dan bahkan tanpa kecap manis, bukan karena itu resep unik dari majalah nova tapi memang begitu adanya. Hanya bawang merah, garam dan cinta Ibu untuk keluarganya.
Hebatnya itu adalah nasi goreng paling enak yang saya pernah makan, bahkan saya masih ingat rasa gurihnya sampai sekarang.

Pertanyaannya, akankah saya mencintai keluarga sampai segitunya? Ataukah akankah kamu mencintai keluarga sampai segitunya?

Dari saya mulai mengerti bahasa, bisa berbicara hingga sekarang yang saya tau impian ibu saya hanya satu.

Punya rumah.

Dengan segala syukur ke pada yang maha pemberi rezeki, kami menganugrahkannya rumah di ulang tahunnya yang ke 41. Rumah kecil di pinggir kota yang kami tinggali sekarang.

Doa saya kepadanya semoga di ulang tahun yang ke 44 ini diberikan kebahagian, semoga diberikan umur dengan digit yang sedikit irasional yang diisi dengan senyuman, kesehatan dan kebaikan. Semoga apa yang kami anak-anakmu lakukan selalu menjadi kebanggaanmu.

Doakan kami terus menjadi pembahagiamu.


“Selamat ulang tahun ke 44 mah..”

2 komentar:

  1. You're my man Dung! Nice to read :D

    BalasHapus
  2. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus